JALANI
Lulus dari salah satu sekolah kedinasan yang ada, membuat saya tidak punya banyak pilihan selain menerima dan menjalaninya. Berat? - sangat. Tapi itu konsekuensinya.
Kenapa berat? Karna dari awal, mind-set saya sudah tersusun rapi "cepat lulus, kerja di daerah sendiri, gak perlu merantau sana sini lagi, dan semua akan stabil". Planning yang panjang pun sudah tersusun rapi, sampai isu-isu penyebaran kerja saya anggap angin lalu.
Dan istilah petir di siang bolong itu bener bagi saya.
Kaget dong, saat terima surat tembusan dari Jakarta mengenai penarikan kembali ke pusat, saat itu posisinya sebagai pegawai titipan di daerah. Di surat tersebut memerintahkan untuk membawa serta pakaian harian kerja, tanpa tahu tujuan penempatan selanjutnya dimana.
Sebagai pegawai baru yang mulai terbiasa dengan rutinitas kerja di kantor, tiba-tiba ditarik kembali ke pusat setelah menerima surat tembusan tersebut. Saat itu saya benar-benar merasa pikiran dan hati saya gak bisa sinkron sama sekali. Emosi naik turun, tapi sebisa mungkin saya sembunyikan karna tidak mau orang tua khawatir.
2000 lebih manusia dari sabang sampai marauke berkumpul disatu tempat, bertanya-tanya akan nasib wilayah kerja selanjutnya.
Satu persatu nama secara acak disebutkan sesuai Provinsi yang akan dituju. Banyak tangis pecah diruangan saat mendengar nama dan lokasi yang akan dituju. Jauh dari perkiraan.
Meleset. Semua planning yang sudah dibangun, berubah total.
Satu persatu dari kami berangkat menuju Provinsi tujuan. Dengan hanya berbekal pakaian harian kerja, tanpa mempersiapkan batin, kami berangkat ketempat tugas baru.
Kami berangkat hanya dengan mengetahui Provinsi yang dituju, tanpa mengetahui Kabupaten mana untuk lebih pastinya.
Bagaimana keadaan lokasi yang akan dituju pun, kami belum mengetahuinya sama sekali.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju lokasi tujuan, banyak dari kami yang hanya diam dan menangis, berusaha menguatkan satu sama lainnya tapi rasa percuma. Batin sendiri kian bergejolak dengan kenyataan yang ada.
Hingga kami lelah menangis dan meratapi tiket ditangan dengan nama masing-masing. Kami lelah. Sehingga pilihan terakhir adalah "jalani saja".
Terkesan pasrah, iya memang. Ini lah konsekuensinya.
Konsekuensi yang harus kita jalani tanpa bisa memilih.
Konsekuensi yang mana kita diharapkan dapat memberi perubahan di lokasi dimana kita ditempatkan.
Konsekuensi yang mana kita dituntut cepat beradaptasi dengan lingkungan mulai dari budaya sampai bahasa yang terdengar asing ditelinga.
Konsekuensi yang mana kita bekerja selalu membawa nama almamater.
Dan saya memilih, menjalaninya terlebih dahulu.
Jalani saja apa yang ada pada saat ini.
Jalani demi membantu beban kerja di lokasi penempatan.
Jalani sampai saat kesempatan pindah sudah dekat.
Semakin saya mencoba membuka pemikiran bahwa "saya gak sendiri", semakin banyak saya menemukan pekerja rantau lainnya.
Beda bidang kerja, tapi cukup untuk sharing dan menambah wawasan akan hal lain yang belum saya ketahui.
Disitu saya sadar akan pemikiran saya, siapa pun yang berada diperantauan, dia tidak sendiri. Semakin kita berusaha membuka diri dan mencari teman, kita akan selalu menemukan teman senasib ditanah rantau meskipun beda bidang pekerjaan.
Kita semua sama, sama-sama di tanah rantau.
Untuk temen-temen yang masih sama-sama berjuang ditanah rantau, entah itu di dalam negeri maupun di luar negeri, ataupun yang masih sekolah, kuliah maupun yang sudah bekerja - tetap semangat!
Jangan pernah takut merantau. Dimana ada kesempatan untuk berkembang, disitulah jalanmu, meskipun harus keluar dari comfort zone yang ada.
💛💛💛
0 komentar